11 Agustus, 2008

Surti-Tedjo




oleh: Luky B. Rouf

Al kisah di sebuah pedusunan non jauh disana, hidup seorang gadis cantik nan elok, Surti begitu orang biasa memanggilnya. Surti sebuah nama yang tak asing di telinga para remaja-remaja desa, konon senyum si Surti bisa meruntuhkan gunung-gunung jiwa yang keras oleh hasrat, dan mampu membasahi sawah-sawah hati yang galau oleh panasnya kehampaan (ji' …ileeee, puitis banget). Diantara deretan remaja yang terkena sihir si Surti adalah si Tedjo. Jejaka yang baru aja nyelesein kuliah fakultas hukum di sebuah PTN di Surabaya. Entah karena Tejo punya ilmu pelet dari Nyi Pelet koq si Surti yang kembang desa jatuh dari tangga ehhhhh maksudnya jatuh di pelukan Tedjo.

Ceritanya, desa sedang panen raya, sawah-sawah menguning (kuningisasi, nih yeee) siap untuk dipanen. Saat itulah Surti ketemu Tedjo yang sudah menggondol (kayak burung aja menggondol) gelar Sarjana Hukum, mereka bertemu di pematang sawah, lalu saling melempar sandal (ehh) maksudnya melempar senyum, di tengah hiruk pikuknya warga, mereka berdua terlena oleh indahnya cinta (katanya), berduaan bersepi-sepian alias khalwat, menikmati masa remaja, katanya dunia hanya milik mereka berdua yang lainnya ngontrak. Seharusnya mereka ingat kalau mereka itu seorang muslim dan muslimah, ingat akan sabda Rasulullah tentang larangan berduan atau khalwat (HR. Abu Daud, HR. Muslim). Apalagi si Surti nggak pake Jilbab, padahal jilbab itu khan wajib bagi perempuan yang sudah baligh, bagi wanita yang tidak memakainya, maka diharamkan oleh Allah untuk mencium baunya surga, yang baunya surga itu bisa tercium lebih jauh dari jarak matahari ke bumi (sorry, itung sendiri aja yaaa), jadi menciumnya aja kagak boleh apalagi masuk ke surga. Bayangkan aja kalau seumpama kamu dilarang masuk rumah orang, trus kamu nyelonong masuk aja, apa yang terjadi, tentu ente akan diusir, masih untung diusir ama manusia, tapi bagaimana kalau Allah yang mengusir ente dari surga, trus ente mau masuk kemenong, kalau tidak ke neraka (hiihhh takuttt!!!!)

Warga berpesta pora dengan hasil panennya, bahkan untuk merayakan panennya, warga mengeber layar tancap semalam seuntuh, tapi seharusnya warga juga ingat bahwa berapa zakat yang seharusnya mereka keluarkan dari hasil panennya. Bukankah ada zakat 5 sampai 10 %? Dan bukankah hukum zakat itu wajib ain?. Sementara dua sejoli yang sedang menikmati sepiring cinta, sambil menyaksikan layar tancep yang memutar film kuch kuch hota hai, di tempat sepi diatas rerumputan itu terjadilah adegan dewasa, hanya dengan satu jurus dan tendangan gelandang Tedjo, terjadilah kecelakaan itu, kecelakaan apa? Ya kecelakaan, masak nggak tahu, itu tuh, yang kata orang bijak "bukan salah bunda mengandung tapi salah empunya burung" (ya, sama-sama salah, neng) alias wamil ehhh maksudnya hamil.

Meski disembunyikan di bawah kolong tempat tidur, kalau namanya barang busuk akan terbau juga, setelah diketahui banyak asap mengepul, banyak orang bertanya dimana apinya. Satu bulan, dua bulan orang mengira si Surti terkena tumor, tapi lama kelamaan kok keinginan Surti mulai aneh-aneh, mulai dari yang ngidam lontong balap, (makan lontong tapi sambil balapan, heeeeeee) sampai ngidam pengin nendang bokongnya amien rais, soalnya Surti paling gemes sama ketua MPR yang pernah melarang presiden wanita itu, tapi sekarang malah membolehkan, alasannya demi keselamatan bangsa.

Akhirnya diketahuilah aib itu oleh orang sekampung, Tedjo meski sarjana hukum bisa saja melanggar hukum dan tentu tidak kebal hukum, sebagai seorang yang sadar hukum dia tidak akan lari marathon alias minggat ke luar negeri kayak Edy Tansil yang menggelapkan uang triliunan atau seperti Tomy yang juga menyusul Edy Tansil menjadi pelari tercepat. Kalau si Tedjo di hukum di suruh membajak sawah para warga.

Tapi bagaimana dengan Surti? Derita yang menimpa Surti bagi keluarganya bukan lagi mendengar petir di siang bolong, tapi sudah bener-bener disamber petir. Diskusi punya diskusi akhirnya ketemulah solusi, dibawa Surti oleh emak dan babenya ke "orang tua" namanya mbah Yai. "Tolong anak kami, mbah, dia terkena musibah" (kena banjir kali, ngomong hamil aja, sungkan), setelah mengutarakan maksudnya, mbah Yai jadi ngerti apa maksud kedatangan mereka, tidaklah beda seperti pasien-pasien sebelumnya minta legalitas atas kehamilan putrinya. Akhirnya keluarlah kata-kata dari mulut seorang tua yang dagunya banyak ditumbuhi jenggot itu, dan sudah kadung di juluki warga, perkatannya adalah fatwa. "Sabar, anakku, itu semua cobaan dari yang diatas sana" sambil mengelus jenggot putihnya akhirnya "Sudah kawinkan saja anakmu dengan Tedjo, nanti saya akan bantu melalui doa". PLONG, lega sudah, dapat juga akhirnya legitimasi itu.

Fenomena penelantaran hukum syara' seperti kisah diatas berserakan terjadi di masyarakat, sepertinya kita sudah terbiasa dengan kemaksiatan, hal-hal yang menurut hukum islam dipandang maksiat karena sering dan biasa akhirnya dianggap wajar bahkan perlu ditoleransi. Coba saja, kamu yang laki-laki, masuklah ke masjid, tanpa baju alias telanjang dada, apa yang terjadi? Orang akan menganggap kamu sinting dan melakukan dosa, padahal kamu waras khan? Dan itu tidak dosa, hanya saja kurang sopan saja dipandang orang, tapi tidak sopan belum tentu dosa.

Tapi bagaimana dengan anak-anak perawan yang sering keluar masuk masjid tanpa kerudung, padahal rambut itu khan aurat (HR. Abu Bakar & Ibnu Jarir) yang harus dilindungi baik di masjid pada saat sholat ataupun diluar masjid ketika selesai sholat, jadi memakai mukena bagi perempuan tidak di masjid aja neng, kalau diluar masjid kamu musti pakai jilbab, ngerti kagak?. Ya, sudah itu salah satu contoh, masih banyak contoh kemaksiyatan yang sering kita jumpai kita membiarkan itu terjadi. Kita sudah terlanjur membiasakan agama hanya dijadikan pemuas batin, ketika suntuk aja kita lari ke agama, kebetulan pas seneng dan banyak duit kita lupa pada agama.

Mau tidak mau, hidup di negerinya penggemar Sinchan ini, kita diajari munafik lho, lihat aja, kita hampir tiap hari dianjurkan untuk takwa, tapi keseharian pula kita diajari pula untuk meninggalkan takwa. Kita disuruh meninggalkan miras, tapi pabrik miras dibiarkan mentereng tumbuh dengan subur. Di satu sisi kita disuruh berhati-hati dengan virus HVS (emangnya kertas) maksudnya HIV, tapi tempat pelacuran di Doly jadi peringkat dua se-Asia setelah Kanton (RRC). Seminar anti narkoba digalakkan tapi para Bede dibiarkan berkeliaran bahkan di backingi oleh aparat hukum, bagaimana tidak munafik? Itulah diantara bukti negeri ini memang negeri sukeler, jadi agama hanya boleh ngatur masalah haji, sholat, puasa, sedang untuk mengatur kehidupan sehari-hari pakai kesepakatan, kerelaan masyarakat. Allah hanya sebagai si pembuat jam, ketika jam diciptakan maka jam itu berjalan dengan sendirinya.

Fenomena-fenomena seperti diatas akan terus banyak menyusul. Ketika kisah Surti-Tedjo berlaku bagi yang lain, maka jawabannya adalah satu nikahkan. Padahal nikahnya orang yang sudah hamil tidak syah menurut agama islam. Seharusnya seperti mbah Yai tadi bilang "Anakmu, Surti melakukan zina, kalau menurut hukum Islam dia harus dirajam". Beranikah atau adakah seorang kyai atau ustad mengatakan demikian yang sebenarnya cerminan dari keimanan terhadap Islam? Perkataan demikian sebenarnya sangat tidak diinginkan oleh orang tua, siapa sich yang mau anaknya nggak perawan sebelum nikah beneran? Tentu aja tidak ada, kalo ada orang tua yang kayak gitu, mendingan di masukkan ke museum MURI, karena tergolong aneh bin langka. Tapi ngapain hal seperti itu sering terjadi yaitu MBA alias maried by accident, nah itu Pe eR buat orang tua kamu.

Kultus atau mengagungkan seseorang seperti mbah Yai itu bisa membuat orang menafikkan kebenaran yang lain, nah yang ini namanya love is blind alias cinta itu buta, bagaimana tidak buta? Lha wong karena saking cintanya, rela mati demi pujaanya (ingat kasus konser A1), atau bikin-bikin pasukan berani mati segala, apa mereka lupa bahwa mati mereka sebenarnya hanya untuk Allah, trus Allah ditaruh pada nomor berapa, yaa?

Kita sering dibuat pusing dan apakah akan terus di pusing meskipuan bukan pusing karena sakit kepala, pusing yang satu nih, lantaran sebenarnya kita nggak pengen kemaksiatan makin merajalela, tapi sarananya selalu ditambah atawa dimodifikasi. Kita sudah kehilangan parameter untuk mengukur aktivitas kita, gedung-gedung bioskop yang memasang poster seronok hanya menutupnya ketika pas bulan ramadhan, selesai ramadhan gambar serupa bahkan yang lebih greng pun tetap dipasang.

Masih banyak lagi bukti penelantaran hukum syara', mungkin kalau harus disebutkan satu per satu mungkin media ini tidak cukup. Yang terpenting bagi kita sekarang adalah, kita adalah muslim dan muslimah, apa yang membedakan kita dengan non muslim. Apa hanya dengan sekedar ditempelkannya stiker "saya muslim dan saya bangga" atau "be good muslim" atau kalau di mobil kita gantung tasbih, sudah menunjukkan identitas muslim. Tidak cukup hanya itu friend, keislaman kita tidak terbukti hanya dengan stiker atau tasbih, tapi ketika tiap hari kita selalu menggunakan standar atau ukuran untuk membenarkan atau menyalahkan perbuatan dan pemikiran kita dengan standar Islam, itu saja kagak kurang dan kagak lebih.

So, once again, kita muslim kita harus mengikatkan perbuatan kita kepada hukum Islam, perbuatan kita tidak terikat dengan rasa senang dan tidak senang masyarakat. Serta hukum Islam juga tidak terkait dengan rasa senang dan senang masyarakat, yang ada bahwa masyarakat harus terikat dengan hukum Islam yang sudah pasti mengandung kemaslahatan.

[+/-] Selengkapnya...

06 Agustus, 2008

Sisi Gelap Pacaran

Sumber: Buletin Studia Bogor
Edisi 149/Tahun ke-4 (16 Juni 2003)

Sisi Gelap Pacaran

Hoyaaaa… lagi mojok berdua neh! He.he.. jangan mendelik dong kalo emang ngelakuin. Bo..abo.. banyak juga neh remaja yang punya prinsip mojok terus, gesek terus, en tempel terus ama gandengannya (idih, emangnya truk?). Hmm… aneh bin ajaib memang. Urusan cinta yang diwujudkan lewat pacaran kadang nggak kenal tempat dan waktu. Kalo udah demen, nyosor terus ampe lupa kanan-kiri. Dunia serasa milik berdua doang. Orang lain mah suruh tinggal di planet senen, eh, planet pluto sekalian.

Saking menjamurnya budaya pacaran, di angkot, di pasar, di kereta, di bus, termasuk di sekolah, mudah kamu jumpai remaja yang saling memadu kasih. Lihat juga di taman kota, di trotoar jalan, termasuk di perpus. Perpus? Nggak salah? Suasananya hening lho buat mojok. Kali aja makin hot! Astaghfirullah…

Udah gitu nggak kenal waktu, bisa siang hari, bisa malam hari. Pokoknya gebet terus sampe pagi. Malam hari banyak juga lho yang sok romantis, pake gantian ngitungin jumlah bintang di langit segala, ngobrol ngalor ngidul di bawah sinar rembulan yang jatuh ke bumi, duh kayak di sinetron jadinya (eh, pas meremas jari pacarnya, ternyata jempol semua! Bukan orang kaliii.. Huhuy kebanyakan nonton Kismis tuh!) J

Sobat muda muslim, ngomong-ngomong apa sih definisi pacaran? Kalo orang hukum bilang, pacaran adalah kontrak sosial antara laki dan wanita dalam satu ikatan dengan tujuan untuk menikah. Hmm.. bener nggak sih? Buktinya banyak yang cuma main-main doang. Lha iya, anak SD dan SMP udah pacaran, apa mereka mikir mo langsung nikah? Kayaknya, kata orang Betawi mah, “ kagak nyaket di otak dah!” Pendek kata, nggak masuk akal, sobat.

Sayangnya, pacaran udah jadi tren lho. Jangan kaget kalo ada remaja yang nggak ngelakuin pacaran, bakalan dicap sebagai kampungan, norak, dan super kuper. Sebaliknya, mereka yang jadian mengikat janji sama pasangannya, dianggap wajar karena tuntutan jaman. Wasyah! Apa nggak kuwalik neh?

Memangnya kalo jaman berubah, kita juga kudu selalu berubah? Nggak lha yauw. Kita lihat-lihat dulu. Kalo itu berubah kepada kebe­naran, ya kita ikutin dong. Tapi kalo ngajak beru­bah untuk berani maksiat, entar dulu. Tahan.

Ngomong-ngomong soal semen, eh, pacaran, kita jadi kepikiran, bener nggak sih pacaran itu halal? Bener nggak sih pacaran itu banyak ruginya? Emangnya kalo udah pacaran kita boleh ngelakuin apa aja dengan pacar kita?



Ta’ruf, Taqarrub, dan ta’ tubruk

Remaja sekarang pada pinter ngeles lho.. (yang pinter mah..), pake ngedalil segala. Seolah-olah bakal ditolerir agama dengan dalilnya yang asal-asalan itu. Nggak lha yauw. Saat kamu membanting kartu gaple dengan balak enam sambil menyebutkan, “ini rukun iman”, tentunya bukan berarti main gaple jadi kegiatan yang islami lho. Nggak. Begitu pun dengan pacaran. Jangan mentang-mentang aman aja lho kalo kamu berdalih bahwa deketan sama lawan jenis sebagai bagian dari ta’ruf yang diajarkan agama sambil menyitir ayat tentang diciptakannya manusia dalam kultur dan suku yang berbeda-beda, yang tiada lain adalah untuk saling mengenal. Gubrak!

Jelas salah alamat sobat. Kamu yang pacaran dengan mengaku-ngaku lagi ‘ta’ruf’ kayaknya cuma kedok doang deh. Memangnya kalo pengen kenalan dengan lawan jenis itu kudu nempel terus dan berduaan aja?

Ada teman kamu yang ngelakuin pacaran kok kayaknya seperti udah jadi suami-istri. Nyebutnya aja “mamah-papa”. Itu dilakukan demi mengenal lebih dalam karakter masing-masing. Kata mereka, dengan semakin dekat kita berhubungan, semakin mengetahui kebiasaan pasangannya; mudah marah apa nggak, suka rewel atau justru asyik-asyik aja, kalo makan gembul apa nggak (harus bisa mengontrol jatah beras neh! He..he..he..), kita jadi tahu makanan kesukaannya, ngeh minuman favoritnya, dan sebagainya.

Nah, kalo udah cukup ‘kenal’ luar-dalam, bisa jadi gampang juga untuk deketan. Pengen lebih deket, makin deket, dan deket banget. Nggak heran, awalnya cuma mau temenen, eh, malah demen? Kalo udah kecantol begitu, setiap pasangan jadi nggak ragu untuk membuka diri. Hmm… jangan kaget kalo akhirnya nggak cuma berani kirim SMS or e-mail dong, tapi mulai coba dengan yang lebih iteraktif; nelpon. Bagi mereka yang udah kebelet (emangnya mo buang hajat?), pengennya deketan terus. Dalam kondisi seperti itu, udah berani main ke rumah atau ngajak jalan bareng ke mana mereka suka. Sebab kata orang, cinta terasa makin kuat justru kalo berjauhan. Sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan efek doppler yang justru kekuatannya makin terasa lemah jika saling menjauh (moga kamu inget salah satu kajian dalam ilmu fisika ini).

Sobat muda muslim, hati-hati deh. Kalo udah ‘ta’ruf’ dan pengennya ‘taqarrub’, sangat boleh jadi akhirnya ‘ta’ tubruk’ alias main nyosor terus. Pikirnya, mana ada ku­cing yang ta­han jika mangsanya ngasih pelu­ang. Mana ada yang ta­han godaan kalo udah lengket-mas­ket begitu. Bener, pake prinsip manajemen lagi; sedikit bicara banyak bekerja. Nggak ada jaminan deh kalo udah nempel begitu tanganmu nggak gerilya kemana-mana. Yee.. jadinya antara nafsu dan cinta jadi bias. Gubrak, itu namanya peluang untuk saling ‘menubruk’ makin terbuka. Jadi jangan bingung kalo kemudian kamu bisa baca di koran tentang seks bebas remaja ibu kota, juga tentang angka aborsi yang kian meroket, dan menularnya PMS (penyakit menular seksual). Hih, syerem abis!



Ruginya pacaran

Kamu kudu ngeh juga soal yang satu ini. Rugi di akhirat udah jelas. Rugi di dunia juga sebetulnya sejelas siang hari. Cuma, bisa dinetralisir dengan ‘kenikmatan’ yang langsung didapat. Dasar! Pengen tahu lebih detil? Mari kita tunjukkan.

Pertama, pacaran diduga kuat bikin kantong bolong (biasanya untuk anak cowok). Gimana nggak, kamu jadi kudu nyiapin anggaran lebih; selain buat diri kamu, tentunya biar disebut care ama yayang-nya, kalo jalan kudu punya pegangan. Malu dong kalo jalan nggak punya duit. Entar diledekin pake plesetan dari lagunya Bang Iwan Fals, “Jalan bergandengan tak pernah jajan-jajan…” (he..he..). Itu sebabnya, anak cowok kudu nyiapin segalanya buat nyenengin sang pacar. Iya dong, masak makan sendirian kalo lagi jalan bareng? Emangnya pacar kamu obat nyamuk dianggurin aja? So, pastinya kamu bakalan kena ‘roaming’ terus (backsound: rugi dah gua..).

Tapi jangan salah lho, bisa jadi anak cewek juga kudu nyiapin dana (kalo nggak minta ke ortu nodong sama pacarnya—he..he.. teman cowoknya kena juga deh). Buat apa? Huh, tanpa komunikasi, rasanya dunia ini sepi, bro! buat beli pulsa HP, terus sekarang kan jamannya inter­net, ya untuk chatting atau kirim-kirim e-mail cinta. Huh! Pacaran berat diongkos namanya. Bener-benar terpadu, alias terpaksa pake duit!

Kedua, bisa kehilangan privasi lho. Iya lah, kamu baru bisa nyadar kalo kamu udah putus sama yayang kamu. Betapa kamu waktu itu udah memberikan informasi apapun sama kekasihmu. Rahasia luar-dalam dirimu bisa kebongkar tanpa sadar. Celakanya, banyak pasangan yang akhirnya putus. Nggak ada jaminan kan kalo akhirnya pacarmu cerita sama yang lain setelah putus sama kamu? Atau… bisa juga putus sama kamu karena udah tahu kebiasaan jelek kamu (koor: kasihan deh eluh!..)

Ketiga, menggangu aktivitas produktif. Iya lah. Sebab, pikiran kamu manteng terus ke si dia. Inget terus sama doi. Maklumlah, bagi kamu yang kena ‘sihir’ kasmaran, pastinya inget terus sama doi. Kayaknya nggak rela kalo sehari aja nggak ketemu or denger suaranya. Nggak afdol kalo tiap jam nggak dapetin update info soal doi (emangnya situs berita? He..he…). Persis kayak pelajar yang saban harinya makan sambel melulu, katanya sih bisa bodoh. Lho? Iya, kalo ‘kerjaan’ makan sambel itu membuat doi lupa belajar (he..he..he..). Nah, pacaran disinyalir bisa membunuh produktivitas kamu. Hari libur joss terus sama pacar kamu; ke tempat rekreasi, ke mall, dan sekadar jalan-jalan nggak jelas juntrungannya. Padahal, bisa dipake untuk istirahat or kegiatan bermanfaat seperti olahraga, ngelancarin belajar ngaji, menghadiri kajian keislaman, dsb. Tul nggak?

Padahal hari biasa juga dipake ngedate terus sama gebetan kamu. Kagak ada matinya. Jadi produktivitasnya berubah. Tadinya mantengin pelajaran dan kegiatan bermanfaat lain, pas pacaran jadi mantengin yayang-nya. Apa itu nggak bikin kamu jadi kismin, eh, miskin produktivitas? Aduh, celaka banget deh!

Keempat, rentan untuk sakit hati. Bener. Kegembiraan bisa berubah jadi kesedihan. Maklum, namanya juga baru pacar, belum ada ikatan kuat yang bisa melindungi kamu berdua. Jadinya, gampang banget untuk putus. Cuma soal perbedaan kecil bisa jadi api yang membara. Ujungnya, putus deh. Kalo udah putus cinta, aduh, sakit rasanya. Bener. Perlu kamu pahami, kebanyakan orang berpacaran adalah petualangan. Jadi, bukan untuk melanggengkan ikatan itu, tapi justru masih cari-cari kecocokan. Bahaya!

Kelima, jangan bangga dulu punya pacar yang tampilannya oke punya. Senyuman mautnya bisa menenangkan kamu, sekaligus bikin gelisah. Siapa sudi kalo punya cowok mata keranjang? Nggak bisa teteg di satu hati. Masih nyari penyegaran dengan akhwat, eh, cewek lain. Siapa tahu malah kamu yang jadi ‘sephia’-nya. Cewek lain justru kekasih sejatinya. Gubrag! (suara satu-suara dua: kasihaaan deh kamu…).

Keenam, beware alias waspadalah! Kejahatan terjadi bukan karena niat pelakunya saja, tapi juga karena ada kesempatan (hei! kok kayak Bang Napi sih? He..he..he.). Gaul bebas bisa bablas euy! Kalo kamu udah saling lengket, jangan harap akal sehat kamu dipake untuk mikir bener. Justru kamu malah bimbang dengan ‘suara-suara’ yang ngomporin supaya melakukan “begituan”. Pastinya kamu nggak mau dong kayak kasusnya Eno Lerian yang menikah karena udah hamil duluan; Married by Accident! Naudzubillahi min dzalik!



Tahan nafsu dong...!

Ingat-ingat pesan Allah dan Rasul-Nya. Jangan mengklaim kebenaran dengan ukuran kamu sendiri. Bahaya. Kamu bisa aja ngasih alasan bahwa pacaran adalah menyenangkan. Itu hak kamu. Tapi jangan salah, kalo kebenaran diserahkan kepada semua orang, bisa berabe. Itu sebabnya kudu ada patokan. Apalagi kalo bukan aturan Allah dan Rasul-Nya. Betul?

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina adalah perbuatan yang ter­cela dan jalan yang buruk,” (QS al-Isra [17]: 32)

Dari Jabir ra, Rasulullah saw. berkata, “Ingatlah! Janganlah seorang laki-laki menginap di sisi seorang wanita dalam satu rumah, kecuali dia menikahinya atau dia mahramnya.” (HR Muslim)

Dalam sebagian riwayat hadits Samurah bin Jundab yang disebutkan di dalam Shahih Bukhari, bahwa Nabi Saw. bersabda:“Semalam aku bermimpi didatangi dua orang. Lalu keduanya membawaku keluar, maka aku pun pergi bersama mereka, hingga tiba di sebuah bangunan yang menyerupai tungku api, bagian atas sempit dan bagian bawahnya luas. Di bawahnya dinyalakan api. Di dalam tungku itu ada orang-orang (yang terdiri dari) laki-laki dan wanita yang telanjang. Jika api dinyalakan, maka mereka naik ke atas hingga hampir mereka keluar. Jika api dipadamkan, mereka kembali masuk ke dalam tungku. Aku bertanya: ‘Siapakah mereka itu?’ Keduanya menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang berzina.” Ih, naudzubillahi min dzalik.

Jadi udah deh, pacaran itu nggak ada untungnya. Banyak sisi gelapnya. Rugi dunia-akhirat lagi. Kalo pun menurut kamu ada untungnya, itu kan baru perasaan kamu aja. Betul? Oke deh, kalo pun itu menyenangkan menurutmu, apa ada jaminan kalo aktivitas kamu bebas dari dosa? Justru, pacaran itu menyenangkan atau tidak menye­nangkan buat kamu, tetep aja haram di mata syariat! Jadi, jangan nekatz berbuat dosa. Waspadalah! n

[+/-] Selengkapnya...

04 Agustus, 2008

Mencegah Serangan Virus Brontok (Dan Sejenisnya)



Caranya sangat sederhana yaitu dengan menampilkan extension file melalui menu Folder Options. Selesai. Tidak perlu pusing-pusing menginstall antivirus dan mengupdatenya tiap hari. Dengan cara ini, komputer saya sama sekali tidak pernah kena virus brontok, walaupun banyak terjadi pertukaran data dengan dunia luar.

Menu Folder Options bisa diakses melalui Control Panel atau melalui Windows Explorer di menu Tools->Folder Options. Setelah jendela Folder Options terbuka pilih tab View dan hilangkan tanda centang pada pilihan Hide extensions for known file types.

Windows telah melakukan kesalahan fatal dengan menyembunyikan extension secara default.

[+/-] Selengkapnya...

03 Agustus, 2008

Depresi? Perlu Penyelesaian Yang Menyeluruh




by:archirevo
Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa seseorang disebut stressor psikososial, yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ tubuh. Reaksi tubuh (fisik) dinamakan stress. Manakala fungsi organ-organ tubuh sampai terganggu dinamakan distress. Sedangkan depresi adalah reaksi kejiwaan (psikis) seseorang terhadap stressor yang dialami. Singkatnya, depresi adalah gangguan kejiwaan dalam menanggapi berbagai permasalahan hidup yang menimpanya dalam bentuk kecemasan atau kegundahan.

Dalam realitas, depresi adalah wabah yang berbahaya bahkan lebih berbahaya dibandingkan penyakit flu burung, kanker dan semacamnya. Sebab, penyakit depresi tidak dapat atau sulit dideteksi dengan alat-alat kedokteran. Hal ini terbukti dengan data studi World Bank tahun 1993 di beberapa negara, 8,1 persen dari global burden disease (penyakit akibat beban globalisasi) disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa, yang menunjukkan dampak yang lebih besar daripada penyakit TBC (7,2 persen), kanker (5,8 persen), jantung (4,4 persen), dan malaria (2,6 persen). Hasil survei Prof. Ernaldi Bahar tahun 1995 dan Direktorat Kesehatan Jiwa tahun 1996 menyatakan, bahwa di Indonesia, 1-3 dari setiap 10 orang mengalami gangguan jiwa. Gangguan di sini tentu saja yang dimaksud adalah depresi.

Mengenai jumlah individu yang mengalami ini tidak diketahui secara pasti – karena memang sulit dideteksi seperti yang dinyatakan tadi. Namun, peningkatan yang mengalami ini dapat diketahui dari semakin banyaknya pasien yang berobat di klinik psikiatri di rumah sakit, meningkatnya pemakaian obat-obat anti depresi, dan semakin meningkatnya kasus bunuh diri.

Depresi penyebab utama bunuh diri. Jumlah kasus bunuh diri di Indonesia selama 6 bulan terakhir pada tahun 2004 sudah mencapai 92 kasus. Hampir menyamai jumlah seluruh korban tahun 2003 yang tercatat 112 kasus. Di AS, setiap tahun sekitar 1,3 juta orang mencoba bunuh diri dan lebih kurang 400.000 orang di antaranya tewas. Angka ini 1,5 kali lebih banyak daripada angka kematian akibat tindak kriminal. Walhasil, angka bunuh diri di AS menempati urutan ketiga terbesar penyebab kematian penduduk usia 15-24 tahun. Salah satu tempat favorit untuk bunuh diri adalah jembatan terkenal Golden Gate Bridge di San Fransisco. Lebih kurang 850 orang di laporkan telah tewas bunuh diri di jembatan berwarna merah yang sangat terkenal itu (Kompas, 17/7/2004).



Faktor Penyebab

Ada empat faktor penyebab depresi menjadi mewabah.

1.

Individu. Maksud individu di sini bukan pada bentuk fisiknya melainkan pada paradigma berpikir. Mengapa? Hal inilah yang akan menentukan bagaimana mereka berpikir terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Ketika cara berpikirnya materialis maka ia akan memandang problematika dari sudut pandang materilais yakni untung dan rugi. Akibatnya, ketika ia kehilangan sesuatu yang berharga apalagi yang mampu menghasilkan uang jutaan hingga milyaran, ia akan mengalami depresi berat hingga ia merasa kehilangan kehidupannya.
2.

Keluarga. Keluarga adalah lingkungan awal tempat dia tinggal dan berinteraksi dengan orang terdekatnya. Dalam dunia kapitalis, keluarga berjalan berdasarkan paham materialisme. Sang ibu merasa mengasuh, mendidik anak tidak lebih berharga dibandingkan bekerja, belanja atau bersolek. Akibatnya, ibu sering mengabaikan fungsinya sebagai guru pertama dan terawal bagi anaknya. Sang ayah pun merasa mendidik anak bukan tanggung jawabnya dan juga tidak lebih berharga dibandingkan bekerja. Sebab, menurut pandangan materialis, bekerja menghasilkan uang sedangkan mendidik dan memperhatikan anak tidak menghasilkan uang. Akibatnya, sang ayah lebih condong pada bekerja dan bekerja serta merasa sudah menyelesaikan tanggung jawab dengan memberikan uang saku yang besar pada anaknya. Padahal, seorang anak tidak hanya butuh pakaian, celana, makanan, minuman dan kebutuhan fisik semacamnya tapi juga kasih saying, pendidikan dari orang tua. Tentu saja hal ini akan berakibat pada gangguan kejiwaan sang anak. Apalagi, sang ayah dan ibu sering bertengkar karena urusan-urusan sepele dan merasa saling direndahkan. Hal ini akan menjadi puncak gangguan kejiwaan yang berujung pada broken home dan serentetan dampak yang mengikutinya seperti anti sosial.
3.

Masyarakat. Masyarakat adalah lingkungan berikutnya yang juga tidak kecil pengaruhnya terhadap seseorang sebab mau tidak mau setiap diri kita berinteraksi dengan masyarakat. Pada masyarakat materialis, segalanya dipandang dari sudut pandang materi dan cenderung individualis. Kepekaan terhadap lingkungan sosialnya sangat rendah. Orang akan bersaing untuk untuk dirinya sendiri dengan berbagai cara tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Hubungan interpersonal semakin fungsional dan cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seperti keramahan, perhatian, toleransi, dan tenggang rasa. Akibatnya, tekanan isolasi dan keterasingan kian kuat; orang makin mudah kesepian di tengah keramaian. Inilah yang disebut lonely crowded (sendiri di tengah keramaian), gejala mencolok dari masyarakat kapitalis di mana-mana termasuk Indonesia dan dunia Its ini.
4.

Pemerintah. Pemerintah pun juga ikut andil dalam mewabahnya penyakit depresi ini. Dengan system kapitalis, segala hal pun juga dipandang secara materi. Penguasa dan rakyat bagaikan penjual dengan pembeli bahkan yang lebih parah bagaikan tuan rumah dengan budak. Akibatnya, pendidikan, kesehatan, SDA seperti bensin dijadikan komoditas jual beli antara penguasa dan rakyat. Tekanan ekonimi yang menghimpit dengan sedikitnya lapangan pekerjaan, penghasilan yang pas-pasan dan harga barang-barang yang kian melangit terutama barang-barang poko semacam beras, kesemuanya menjadikan banyak orang mudah depresi. Menurut E. Kristi Purwandari, pengajar Fak. Psikologi UI, faktor penyelenggaraan kehidupan bernegara yang carut-marut menjadi penyebab depresi terbesar bagi masyarakat Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah. Keadaan seperti ini menyebabkan orang frustasi dan putus harapan karena merasa tidak memiliki masa depan. Belum lagi tayangan televise yang lebih condong pada kekerasan diberi lampu hijau oleh pemerintah menjadikan masyarakat lebih suka mengambil solusi dengkul alias kekerasan kebanding dengan otak alias berpikir dalam menyelesaikan setiap problematika. Sehingga, banyak sekali kriminalitas kekerasan fisik hingga pembunuhan hanya karena alasan sepele.

[+/-] Selengkapnya...


Free Blogspot Templates by Isnaini Dot Com and Supercar Pictures. Powered by Blogger